Senin, 21 Juni 2010

Revolusi Berpikir dengan Filsafat Dialektika Materialisme

| Senin, 21 Juni 2010 |


Kontribusi dari Agung Setyahadi 

Tuesday, 21 February 2006 

Banyak yang mengatakan bahwa kolonialisme adalah anak kandung dari kapitalisme. Maka, tidak heran jika yang pertama kali menjajah Indonesia adalah VOC, bukan pemerintah Belanda. Penjajahan itu terjadi karena akumulasi kapital yang membutuhkan ekspansi. Pendapat ekonom Drs Revrisond Baswir MBA ini selaras dengan tesis klasik Lenin, "Imperialisme adalah Tahap Lanjut Kapitalisme". Imperialisme terjadi karena kapitalisme dalam mekanismenya selalu membutuhkan ekspansi, baik untuk mencari bahan produksi yang murah maupun memutar kapital itu sendiri. Tetapi, kondisi saat ini telah melebihi pemikiran Lenin dengan adanya Super mperialisme yang diajukan oleh Michael Hudson. Banyak yang mengatakan bahwa kolonialisme adalah anak kandung dari kapitalisme. Maka, tidak heran jika yang pertama kali menjajah Indonesia adalah VOC, bukan pemerintah Belanda. Penjajahan itu terjadi karena akumulasi kapital yang membutuhkan ekspansi. Pendapat ekonom Drs Revrisond Baswir MBA ini selaras dengan tesis klasik Lenin, "Imperialisme adalah Tahap Lanjut Kapitalisme". Imperialisme terjadi karena kapitalisme dalam mekanismenya selalu membutuhkan ekspansi, baik untuk mencari bahan produksi yang murah maupun memutar kapital itu sendiri. Tetapi, kondisi saat ini telah melebihi pemikiran Lenin dengan adanya Super Imperialisme yang diajukan oleh Michael Hudson. Argumentasi di atas disampaikan dalam diskusi bedah buku berjudul Reason in Revolt: Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern karya dua orang Marxisme sejati Alan Woods dan Ted Grant, di Karta Pustaka, Jalan Bintaran Tengah 16 Yogyakarta, Senin (20/2). Buku yang dicetak pertama kali 10 tahun lalu ini, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh IRE Press. Bedah buku diselenggarakan oleh IRE Press, Karta Pustaka, Rumah Budaya Tembi, Radio Eltira 102.1 FM, dan Kompas. Revrisond membahas buku ini dari sisi ekonomi politik yang luas, hingga masuk ke bangsa Indonesia. Buku ini pada dasarnya membahas filsafat cara berpikir Marxisme, yaitu dialektika materialisme. Dengan dialektika materialisme, materi dipahami terus mengalami perubahan. Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan bahkan agama merupakan ekspresi dialektika materialisme. Ilmu pengetahuan harus dibangun berdasar realitas-realitas empiris. "Pemikiran yang tidak didasarkan pada perubahan materi justru akan menjadi destruksi di masyarakat. Latar belakang saintifik kapitalisme sudah salah sejak awal dalam memandang alam dan manusia. Dalam kapitalisme ada mitologi yaitu manusia sebagai sentral dan alam dikapling-kapling untuk manusia," ujar Revrisond. Pakar politik UGM, Drs Cornelis Lay MA, menilai, buku ini mampu memberi argumen yang meyakinkan hingga mengangkat kembali gagasan besar Marxisme ke panggung perdebatan dunia. Buku ini juga merupakan klarifikasi dari kaum Marxis tentang gagasan-gagasan yang dianggap tahyul Marxisme. Misalnya, asumsi tentang antiagama pada Marx dan Engels. Gagasan mereka bukan menolak gagasan agama tetapi menolak gagasan mistis dalam agama. "Kekuatan buku ini secara tidak langsung memaksa pembaca memahami perubahan yang sangat cepat tentang berbagai bidang sambil memahami filsafat. Dalam buku ini, filsafat dimulai dari kenyataan bukan perenungan. Pemahaman filsafati ini menyebabkan munculnya keraguan di kalangan pemikir filsafat atas kebenaran pemikiran yang telah mereka lakukan selama ini," ucap Cornelis. Pemahaman filsafati ini, menjelaskan secara gamblang apa yang dimaksud dengan materialisme yang pada intinya memandang tidak ada peristiwa di luar materi itu sendiri. Untuk mengikuti faham dialektika materialisme, dibutuhkan lebih dari sekadar membaca buku- buku ekonomi dan politik. Tetapi, harus memahami pengetahuan- pengetahuan lain. Sosiolog UGM, Dr Heru Nugroho, menilai, buku ini mensinyalir bahwa ekonomi politik kapitalisme sedang dalam kondisi krisis. Sinyalemen ini ditandai dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia, dan pengangguran, baik di negara maju, berkembang maupun terbelakang. Ironinya, sinyalemen yang sudah diajukan oleh Marx dan Engels dalam buku das Kapital itu tidak berujung pada kehancuran sistem kapitalis. "Dalam pemikiran dan praktik, ekonomi politik kapitalisme mampu menjinakkan radikalisme kiri dan mengakomodasi kritik-kritiknya menjadi sistem ekonomi campuran, negara kesejahteraan hingga usulan Giddens tentang Jalan Ketiga. Bahkan, kapitalisme mampu bermetamorfosis menjadi berbagai kesadaran semu dari sejak zaman Marx hingga ekonomi global saat ini," kata Heru. Relevansi dengan kondisi saat ini, muncul eksploitasi konsumen. Siapa yang bisa membeli barang-barang, maka akan menempati posisi tertentu. Orang berbelanja bukan lagi karena nilai guna tetapi karena nilai tukar. Neo Marxisme mengkritik kondisi ini, orang berbelanja bukan karena kebutuhan nyata tetapi kebutuhan semu. Ketika kapitalime telah mampu mengubah nilai guna menjadi nilai tukar, maka basis pertumbuhan ekonomi bukan lagi pada produksi tetapi pada konsumsi. "Masyarakat secara tidak sadar ditindas dari dua jenjang, yaitu produksi dan konsumsi. Anehnya, masyarakat merasa puas dengan penindasan itu. Bahkan, dengan bangga mengonsumsi produk-produk kapitalisme karena konsumsi  cenderung menempatkan posisi sosial seseorang dalam masyarakat," tutur Heru. Krisis kapitalisme yang terjadi saat ini, tambah Heru, tidak lain karena terjadinya krisis dalam ilmu pengetahuan. Kapitalisme bisa eksis karena dukungan filsafat, ilmu pengetahuan dan ilmu ekonomi, yang telah menjadi tahyul yang menopang kapitalisme. Untuk keluar dari krisis, solusinya adalah melakukan negasi terhadap ketiga-tiganya. Atau, berpikir dengan cara dialektik materialisme dalam upaya mencari    Sumber : http://rumahkiri.net _PDF_POWERED _PDF_GENERATED 14 May, 2008, 07:36  

 

ip address
© Copyright 2010. yourblogname.com . All rights reserved | yourblogname.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com - zoomtemplate.com